Sunday, August 24, 2008

Sejarah Alkitab Perjanjian Lama

Alkitab Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab. Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak lebih dan tidak kurang ?
Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama :
Hukum-hukum Taurat,
Kitab nabi-nabi, dan
Naskah-naskah.
Lima buku pertama : Kitab Kejadian, Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini. Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah penting.
Nabi Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100 tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6 orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja Katolik.
Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
Ditulis dalam bahasa Ibrani;
Sesuai dengan Kitab Taurat;
lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM);
dan ditulis di Palestina.
Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja Katolik tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Patriarch Gereja (Church Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Church Fathers, beberapa diantaranya disebutkan disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus adalah para Patriarch Gereja yang hidup pada abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja Katolik sebagai Deuterokanonika (= second-listed) yang artinya kira-kira: "disertakan setelah banyak diperdebatkan".

Thursday, August 14, 2008

Mengenal dan Mencintai Allah

Allah dalam dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa batas.
Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat berdasarkan kebaikan semata-mata,
Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia dapat mengambil bagian dalam kehidupan yang bahagia.

Karena itu, pada setiap saat, dan dimana-mana Dia dekat dengan manusia.

Gunung

Gunung tinggi,
jurangnya dalam.

Setiap kelebihan
selalu diikuti
kekurangan.

Sunday, March 23, 2008

Urbi et Orbi Message Easter 2008

URBI ET ORBI MESSAGE OF HIS HOLINESS POPE BENEDICT XVI
EASTER 2008

Resurrexi, et adhuc tecum sum. Alleluia! - I have risen, I am still with you. Alleluia! Dear brothers and sisters, Jesus, crucified and risen, repeats this joyful proclamation to us today: the Easter proclamation. Let us welcome it with deep wonder and gratitude!
Resurrexi et adhuc tecum sum – I have risen, I am still with you, for ever. These words, taken from an ancient version of Psalm 138 (v. 18b), were sung at the beginning of today’s Mass. In them, at the rising of the Easter sun, the Church recognizes the voice of Jesus himself who, on rising from death, turns to the Father filled with gladness and love, and exclaims: My Father, here I am! I have risen, I am still with you, and so I shall be for ever; your Spirit never abandoned me. In this way we can also come to a new understanding of other passages from the psalm: “If I climb the heavens, you are there; if I descend into the underworld, you are there … Even darkness is not dark for you, and the night is as clear as day; for you, darkness is like light” (Ps 138:8,12). It is true: in the solemn Easter vigil, darkness becomes light, night gives way to the day that knows no sunset. The death and resurrection of the Word of God incarnate is an event of invincible love, it is the victory of that Love which has delivered us from the slavery of sin and death. It has changed the course of history, giving to human life an indestructible and renewed meaning and value.
“I have risen and I am still with you, for ever.” These words invite us to contemplate the risen Christ, letting his voice resound in our heart. With his redeeming sacrifice, Jesus of Nazareth has made us adopted children of God, so that we too can now take our place in the mysterious dialogue between him and the Father. We are reminded of what he once said to those who were listening: “All things have been delivered to me by my Father; and no one knows the Father except the Son and any one to whom the Son chooses to reveal him” (Mt 11:27). In this perspective, we note that the words addressed by the risen Jesus to the Father on this day – “I am still with you, for ever” – apply indirectly to us as well, “children of God and fellow heirs with Christ, provided we suffer with him in order that we may also be glorified with him” (cf. Rom 8:17). Through the death and resurrection of Christ, we too rise to new life today, and uniting our voice with his, we proclaim that we wish to remain for ever with God, our infinitely good and merciful Father.
In this way we enter the depths of the Paschal mystery. The astonishing event of the resurrection of Jesus is essentially an event of love: the Father’s love in handing over his Son for the salvation of the world; the Son’s love in abandoning himself to the Father’s will for us all; the Spirit’s love in raising Jesus from the dead in his transfigured body. And there is more: the Father’s love which “newly embraces” the Son, enfolding him in glory; the Son’s love returning to the Father in the power of the Spirit, robed in our transfigured humanity. From today’s solemnity, in which we relive the absolute, once-and-for-all experience of Jesus’s resurrection, we receive an appeal to be converted to Love; we receive an invitation to live by rejecting hatred and selfishness, and to follow with docility in the footsteps of the Lamb that was slain for our salvation, to imitate the Redeemer who is “gentle and lowly in heart”, who is “rest for our souls” (cf. Mt 11:29).
Dear Christian brothers and sisters in every part of the world, dear men and women whose spirit is sincerely open to the truth, let no heart be closed to the omnipotence of this redeeming love! Jesus Christ died and rose for all; he is our hope – true hope for every human being. Today, just as he did with his disciples in Galilee before returning to the Father, the risen Jesus now sends us everywhere as witnesses of his hope, and he reassures us: I am with you always, all days, until the end of the world (cf. Mt 28:20). Fixing the gaze of our spirit on the glorious wounds of his transfigured body, we can understand the meaning and value of suffering, we can tend the many wounds that continue to disfigure humanity in our own day. In his glorious wounds we recognize the indestructible signs of the infinite mercy of the God of whom the prophet says: it is he who heals the wounds of broken hearts, who defends the weak and proclaims the freedom of slaves, who consoles all the afflicted and bestows upon them the oil of gladness instead of a mourning robe, a song of praise instead of a sorrowful heart (cf. Is 61:1,2,3). If with humble trust we draw near to him, we encounter in his gaze the response to the deepest longings of our heart: to know God and to establish with him a living relationship in an authentic communion of love, which can fill our lives, our interpersonal and social relations with that same love. For this reason, humanity needs Christ: in him, our hope, “we have been saved” (cf. Rom 8:24).
How often relations between individuals, between groups and between peoples are marked not by love but by selfishness, injustice, hatred and violence! These are the scourges of humanity, open and festering in every corner of the planet, although they are often ignored and sometimes deliberately concealed; wounds that torture the souls and bodies of countless of our brothers and sisters. They are waiting to be tended and healed by the glorious wounds of our Risen Lord (cf. 1 Pet 2:24-25) and by the solidarity of people who, following in his footsteps, perform deeds of charity in his name, make an active commitment to justice, and spread luminous signs of hope in areas bloodied by conflict and wherever the dignity of the human person continues to be scorned and trampled. It is hoped that these are precisely the places where gestures of moderation and forgiveness will increase!
Dear brothers and sisters! Let us allow the light that streams forth from this solemn day to enlighten us; let us open ourselves in sincere trust to the risen Christ, so that his victory over evil and death may also triumph in each one of us, in our families, in our cities and in our nations. Let it shine forth in every part of the world. In particular, how can we fail to remember certain African regions, such as Dafur and Somalia, the tormented Middle East, especially the Holy Land, Iraq, Lebanon, and finally Tibet, all of whom I encourage to seek solutions that will safeguard peace and the common good! Let us invoke the fullness of his Paschal gifts, through the intercession of Mary who, after sharing the sufferings of the passion and crucifixion of her innocent Son, also experienced the inexpressible joy of his resurrection. Sharing in the glory of Christ, may she be the one to protect us and guide us along the path of fraternal solidarity and peace. These are my Easter greetings, which I address to all who are present here, and to men and women of every nation and continent united with us through radio and television. Happy Easter!

© Copyright 2008 - Libreria Editrice Vaticana

Panti Asuhan St Yusuf Cipanas

PANTI ASUHAN SANTO YUSUF CIPANAS

Latar Belakang Sejarah
Menurut penjelasan Mgr. N. Geise, OFM., sejak bulan Mei 1941 Keuskupan Bogor memperoleh hak penguasaan atas tanah kompleks Santo Yusuf di Sindanglaya dari pemiliknya yang lama, seorang Belanda pengusaha Hotel Sindanglaya. Sejak semula, pemilik hotel Sindanglaya telah membuka tempat perawatan anak-anak Indo-Eropa yang rentan kesehatannya untuk memperoleh pendidikannya di alam pegunungan yang sejuk terutama yang lebih sesuai iklimnya bagi mereka. Untuk melanjutkan karya tersebut dimulai dengan membangun asrama dan mem perbaiki bangunan gedung sekolah yang telah mulai rapuh.Film perang mungkin asyik ditonton, namun desingan peluru dan ledakan bom dalam kenyataan perang yang sesungguhnya di manapun dan kapanpun di muka bumi ini, tentu akan selalu menebar maut, menyebarkan kehancuran, mewariskan penderitaan, ke sengsaraan, dan kepapaan. Hal ini terjadi pada saat perang dunia kedua yang juga melanda Hindia Belanda dan berlanjut dengan perang Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945. Peperangan itu telah melahirkan para yatim piatu, anak jalanan yang menggelandang menyandang kepapaan, menelusuri lorong derita, tertatih dalam kegelapan hidup, dan menggapai kelam masa depan.Penderitaan dan kesengsaraan yang diakibatkan oleh perang telah menggerakkan kepekaan dan kepedulian kasih Para Dina OFM untuk menuntun kembali kaum papa. Mereka akan dibimbing untuk menatap cahaya harapan di masa mendatang. Pater JR. Wahyo Sudibyo, OFM kemudian ditugaskan untuk membuka sekaligus memimpin asrama penampungan bagi kaum papa terlantar dan yatim piatu di Jalan Kramat Raya Nomor 49 Jakarta. Sementara itu Pater Albuinus Kohler, OFM mulai menjemput anak jalanan yang juga anak yatim piatu untuk ditampung dalam suatu rumah di samping Pas-turan Cipanas. Pada tanggal 30 Desember 1947 mereka dipindahkan ke asrama di Sindanglaya yang menandai awal berdirinya "Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya".Selain menyediakan tempat bernaung bagi anak jalanan yang dija-ring dari emper toko di sekitar Jakarta, Panti Asuhan Santo Yusuf selanjutnya juga menerima anak asuh dari asrama Susteran Bogor, Rumah Sakit Misi Lebak, Asrama Bruder Caritas Purworejo, dan anak dari daerah pedalaman Sukabumi Selatan yang terancam kehidupannya. Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya dikukuhkan melalui Akte Notaris H.J.J. Lammers di Bandung dengan nomor 166 tertanggal 25 Oktober 1949.

Makan Belalang dan Kulit Mangga
Keberadaan anak asuh dalam naungan Panti Asuhan Santo Yusuf, bukan berarti telah membebaskan mereka dari segala penderitaannya, terlebih pada masa awal berdirinya. Para Suster BOZ (kini SFS) yang ditugaskan membantu penyelenggaraan Panti Asuhan Santo Yusuf sejak tahun 1954 menuturkan betapa kesulitan ekonomi masih juga menerpa mereka yang papa. "Pada malam hari anak-anak bolos keluar asrama untuk mencuri singkong, ubi, wortel di kebun penduduk sekitar Panti Asuhan sekedar mengganjal perut yang lapar keroncongan," tutur Suster Gabriel Kroesen, SFS. Betapa iba hati Suster M. Ancella, SFS menyaksikan anak asuhnya membakar belalang hasil tangkapannya dengan arang. Terlebih lagi Suster M. Ancella, SFS merasa sangat menyesal atas kesalahan dirinya karena membuang kulit mangga yang kemudian dipungut dan digerogoti oleh anak asuhnya. Kesulitan pangan juga dituturkan oleh Pater Wiryosuwarno, OFM yang selalu menyaksikan bahwa gudang lebih sering berisi persediaan seperti, ubi, kentang, dan bulgur daripada terisi beras. Sementara itu, untuk mempertahankan kelangsungan hidup Panti Asuhan, Pater Ismail, OFM dengan ikhlas merelakan binatang kesayangannya untuk dijual dan kemudian juga membuka usaha kerajinan penggosokkan batu akik. Suster Gerarda, SFS pada saat mengawali tugasnya di Sindanglaya sejak Oktober 1954 menyatakan bahwa lemari pakaian selalu kosong tanpa persediaan bahan pakaian. Kemiskinan masih berlanjut sampai dengan kehadiran Suster Fransiska, SFS, yaitu sejak tanggal 26 Januari 1976. Beliau merasa kebingungan karena tugasnya sepanjang hari hanya diisi dengan menambal sprei yang sobeknya makin menganga lebar.

Santo Yusuf Menuju Kemantapan
Pater CN. Vd. Laan OFM pernah menyampaikan gagasannya bahwa untuk membangun Panti Asuhan Santo Yusuf sebagai suatu "Monumen Kasih yang Hidup", maka perlu pengabdian cinta dan menebar kasih secara nyata bagi segenap kaum papa dan anak bangsa yang terlantar tanpa pandang bulu. Gaya kotbahnya yang khas dan menarik serta tegur sapanya yang lembut telah menyentuh para dermawan untuk mengulurkan tangan kasih mereka untuk berperan serta mewujudkan gagasan "Monumen Kasih yang Hidup" tadi. Dana yang terhimpun dipergunakan untuk melengkapi sarana penunjang Panti Asuhan. Di samping sarana pendidikan SD Mardi Yuana serta Poliklinik Mardi Waluya yang telah ada, maka dibangun pula gedung SMP Mardi Yuana yang megah (selesai tahun 1980) untuk memindahkan SMP Mardi Yuana "Kandang Ayam" dari kompleks Pasturan Cipanas. Asrama putri yang telah dibangun pada tahun 1954 oleh Mgr. N. Geise, OFM diperluas dengan ruang belajar. Demikian pula asrama putra menengah juga dipugar dan diperluas.Perjuangan dan pengabdian para Fransiskan dalam pergulatannya mengatasi berbagai kesulitan selama kurun waktu lebih dari setengah abad, telah menjadikan Panti Asuhan Santo Yusuf seperti yang terlihat pada kondisi sekarang ini. Dalam keadaannya seperti sekarang, Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya mampu menampung sekitar 300 anak asuh yang terdiri atas:
80 % anak asuh murni (anak yatim piatu, anak papa/terlantar, anak keluarga pra-sejahtera dari daerah pedalaman wilayah kerja Keuskupan Bogor)
20 % anak "titipan" yang dibagi atas:
anak terlantar psikhis/psikologis
anak dari keluarga bermasalah / keluarga pecah / broken home yang biaya hidup dan pendidikannya ditanggung orangtua atau wali mereka.

Menyongsong Masa Depan yang Cerah
Para penanggung jawab Panti Asuhan Santo Yusuf tentunya tidak bermaksud untuk memperpanjang barisan pengangguran. Mereka menyadari bahwa pendidikan dasar 9 tahun belumlah memadai untuk membekali anak asuhnya agar menjadi sumber daya manusia yang handal. Menanggapi masalah tersebut, Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya berupaya memberdayakan anak asuhnya melalui beberapa program, seperti:
Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran
Peningkatan mutu pendidikan dan pengajaran dilakukan melalui pelengkapan buku-buku perpustakaan sebagai sarana memperluas pengetahuan dan wawasan mereka. Dengan cara demikian, diharapkan anak asuh memiliki intelejensi serta prestasi yang tinggi sebagai bekal dasar untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang SLTA ataupun Kejuruan.
Pendidikan Keterampilan dalam bidang:
Farming: Pertanian dan peternakan
Tataboga, tatabusana, dan tatarias, agar anak asuh memperoleh bekal dasar untuk menanggapi berbagai segi kehidupan dalam masyarakatnya.
Pembekalan dalam bidang:
Bangunan Sipil, seperti pertukangan kayu dan batu
Perbekalan montir
Komputer dan tata administrasi
Dana Panti Asuhan Santo Yusuf yang setiap harinya harus dibelanjakan tidaklah sedikit. Biaya hidup dan biaya pendidikan anak asuh dirasakan sangat memberatkan. Dana tersebut bersumber dari sumbangan:
Pemerintah c.q. Departemen Sosial
Yayasan Dharmais
Orangtua, wali anak titipan
Para dermawan, penyandang dana, donatur tetap maupun tidak tetap.
Selama lebih dari limapuluh tahun karya pengabdiannya, Panti Asuhan Santo Yusuf Sindanglaya telah menabur benih kasih di sela ilalang derita yang pedih menyayat. Benih kasih yang tertanam pada kesadaran lubuk hati yang terbuka, telah tumbuh bersemi untuk membuahkan kepribadian yang teguh dan mandiri. Hal itu bukan hanya dirasakan oleh anak asuh, tetapi juga oleh para Pamongnya. Seorang sahabat alumnus menuturkan bahwa segala tempaan mental dan ketatnya pengaturan waktu selama dalam pembinaan Panti Asuhan Santo Yusuf telah menjadi tonggak yang sangat berarti dalam mengukir sejarah hidup keluarga masing-masing.
Memasuki millenium ketiga, nampaknya Panti Asuhan Santo Yusuf akan menghadapi tantangan yang lebih berat. Apalagi kalau ditambah dengan persoalan di masyarakat, seperti masalah sosial-politik, sosial-ekonomi, dan gerak perubahan sosial-budaya. Beban krisis ekonomi yang kini sedang melanda Bangsa Indonesia, telah semakin menindih masyarakat lapis, bawah serta memporak-porandakan kehidupan mereka. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah memperpanjang deretan pengangguran. Himpitan ekonomi telah mendesak anak-anak terlempar keluar dari bangku sekolah. Hal ini semakin menambah gemuruhnya anak jalanan yang menjerit nyaring untuk menjajakan kegetiran hidup mereka. Itu semua akan menjadi tantangan bagi kita semua, manusia-manusia yang masih mempunyai suara hati.
(Disunting dari: "Buku Kenangan Pesta Emas Panti Asuhan Santo Yusuf 1947-1997", yang pernah dimuat dalam buku 50 Tahun Keuskupan Bogor, 1998)

Alamat:
Panti Asuhan "Santo Yusuf"Komplek Panti Asuhan Santo Yusuf,Sindanglaya, Kab. Cianjur, 43253Telepon (0263) 512416Fax: (0263) 513119
Kami terus membutuhkan donatur dan uluran kasih, apabila anda terbebani dapat segera menghubungi kami atau mengirimkan sumbangan kepada:
BCA Capem CipanasNo. 197.0.147299a.n. Rb. Sunar Surya Pranata, OFM &A.F. Sugijarto Suseno, OFM

Thursday, February 15, 2007

Wednesday, February 14, 2007

Spiritualitas Hidup Baru

Berhati-hatilah dengan pikiran kita. Pikiran berkaitan erat dengan keyakinan dan itu merupakan kekuatan maha-dahsyat untuk membantu kita sekaligus menghancurkan kita.

Apakah kita mengalami kegagalan hari ini ?
Apakah kita mengalami sakit yang tak kunjung sembuh ?
Apakah kita merasa tidak maju-maju dalam usaha kita ?
Apakah kita merasa cemas, takut, khawatir, depresi, stress, frustasi, dengan masalah yang kita hadapi ?

Kesemuanya itu niscaya berkaitan dengan pikiran dan keyakinan yang kita miliki.
Semoga dengan semakin bertambahnya waktu, kesediaan kita untuk ber-refleksi akan lebih memahami bahwa akar dari segala masalah itu adalah pikiran dan keyakinan yang terbentuk dalam diri kita.

Ubahlah sekarang juga, maka dunia dalam genggaman kita.
Selamat berubah,
karena perubahan-lah yang abadi di dunia ini.
Marilah kita memulai hidup baru, mulai hari ini, saat ini.